Dulu, saran karier paling sering didengar: “Spesialisasi aja, pilih satu bidang dan dalami.” Tapi sekarang, dunia kreatif lagi berubah cepat, dan jadi jago di banyak hal bukan lagi dianggap setengah-setengah, tapi justru jadi keunggulan.
Dengan budget klien makin ketat, deadline makin ngebut, dan AI yang makin pintar, mereka yang bisa desain grafis, nulis copy, ambil foto, bahkan bikin landing page, justru lebih dicari. Mike Hindle, seorang konsultan kreatif, bilang langsung: “Dulu kita disuruh fokus satu bidang, sekarang jadi jago banyak hal itu justru bikin unggul.”
Kenapa? Karena klien pengen satu orang atau tim yang bisa ngerjain banyak hal sekaligus, brand identity, konten sosmed, sampai motion graphic. Hemat waktu, hemat koordinasi, dan pastinya hemat budget.
Nggak heran banyak kreator yang mulai embrace gaya kerja generalist. Contohnya, Kyle Wilkinson, creative director yang bilang kalau pendekatan generalis justru bikin dirinya bisa terus evolve bareng industri.
Bukan berarti asal bisa semua, ya. Jadi generalist bukan sekadar “coba-coba” semua skill, tapi tahu cara mikir kreatif dan aplikasinya di banyak ranah dengan percaya diri. Visual storyteller Fiifi Džansi bahkan bilang, “Jadi generalist dulu itu bagus, bikin perspektif lebih luas dan selera makin tajam.”
Bahkan di tengah dunia kerja yang serba gesit, punya skill banyak bisa jadi bentuk self-care juga. Annie McGee, ilustrator dan fasilitator workshop, bilang kalau fleksibilitas dari skill campurannya bikin dia tetap bisa berkarya meski kondisi kesehatan nggak selalu stabil. “Punya beberapa jenis kerjaan bikin aku bisa adaptasi tanpa burnout,” ujarnya.
Jadi, di saat AI bisa ngerjain hal teknis lebih cepat, yang tetap dibutuhkan justru manusia yang bisa mikir lintas disiplin dan ngerti gambaran besar. Skill beragam bukan lagi tanda nggak fokus, tapi bukti siap main di industri yang makin kompleks.
Selamat datang di era di mana “jago banyak hal” adalah superpower baru.