Inget nggak trik sepatu Michael Jackson di “Smooth Criminal” yang bikin dia bisa condong 45 derajat? Itu murni gimmick, tapi tetap magis karena pop culture emang sering soal ilusi. Nah, sekarang pertanyaannya: kalau manusia aja bisa jual “fantasi”, AI bisa juga nggak?
Kasus Velvet Sundown jadi contoh panasnya. Band psych-rock ini sempet punya jutaan pendengar di Spotify sebelum ketahuan cuma proyek musik “sintetis” hasil bantuan AI. Fans ngerasa dibohongi, tapi musiknya… nggak jelek-jelek amat. Malah cukup “rapi” buat bikin kita mikir: kalau AI bisa bikin lagu yang enak didengar, berarti rasa “asli” itu sebenarnya datang dari siapa, pembuatnya atau pendengarnya?
Di satu sisi, AI bisa jadi alat kreatif baru, sama kayak multitrack recording yang dulu sempet ditolak musisi tapi akhirnya jadi standar industri. Di sisi lain, ada rasa was-was: kalau semua karya bisa dihasilkan mesin, apa seni bakal cuma jadi “konten” tanpa jiwa?
Oscar Wilde pernah ngebayangin masa depan di mana mesin ngerjain semua kerjaan jelek biar manusia fokus bikin hal indah. Ironisnya, sekarang kita malah nyerahin bagian “indah” itu ke mesin juga.