Gelombang baru pengakuan terhadap negara Palestina kembali mencuat. Setelah lebih dari 150 negara lebih dulu mengakui, kini giliran Inggris, Canada, Australia, hingga Belgia ikut menyuarakan dukungan. Langkah ini dianggap sebagai momen penting dalam menjaga harapan solusi dua negara (Israel dan Palestina) meski realitas di lapangan masih jauh dari kata pasti.
Dr. Husam Zomlot, diplomat Palestina di Inggris, menyebut momentum ini bisa jadi “kesempatan terakhir” untuk mewujudkan perdamaian. Tapi di balik sorotan global, muncul pertanyaan besar: kalau Palestina benar-benar diakui, siapa yang akan memimpinnya?
Secara hukum internasional, Palestina memang punya klaim sah sebagai negara, tapi masalahnya rumit. Batas wilayah belum jelas, Gaza luluh lantak setelah perang, dan pemerintahan terbelah antara Hamas di Gaza dan Otoritas Palestina di Tepi Barat. Presiden Mahmoud Abbas sudah berusia hampir 90 year, sementara generasi muda belum pernah mencicipi pemilu sejak 2006.
Satu nama yang sering disebut adalah Marwan Barghouti, tokoh Fatah yang sejak 2002 ditahan Israel. Meski dipenjara, popularitasnya tetap tinggi, bahkan dalam survei terbaru, ia unggul jauh dari Abbas. However, harapan itu terganjal politik Israel yang menolak keras ide negara Palestina, ditambah perpecahan internal yang sudah berlangsung puluhan tahun.
On the other hand, pengakuan simbolis dari negara-negara besar tetap memberi semangat baru. Dunia seakan lebih berpihak pada Palestina dibanding sebelumnya. Tapi banyak pihak mengingatkan: tanpa pemimpin yang jelas, struktur pemerintahan yang solid, dan jalan perdamaian nyata, pengakuan ini bisa jadi hanya berhenti sebagai simbol.
Seperti kata pengacara Palestina, Diana Buttu: yang paling mendesak sekarang bukan sekadar status negara, melainkan menghentikan pertumpahan darah yang terus berlanjut.